
Doc. “H. Jokowi” Peresiden RI.
HARIAN BERANTAS, JAKARTA— Walaupun belum ada pernyataan resmi dari Istana, namun wacana perombakan kabinet pembantu presiden terus mengemuka. Sejumlah politisi, pengamat dan akademisi bahkan sesumbar telah mencuatkan nama-nama yang akan dilengserkan dari kursi kabinet seperti Menteri BUMN, Rini Soemarno, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, Menteri ESDM Sudirman Said.
Namun penilaian dari banyak kalangan terakhir ini mengarah kepada Jaksa Agung, HM Prasetyo. Orang nomor satu di Kejaksaan Agung itu dinilai pantas untuk diganti dari kalangan profesional. Prasetyo diusik karena tiketnya dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan selama setahun menjadi Jaksa Agung minim prestasi.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia, Mudzakkir berpendapat, latar belakang Prasetyo yang berasal dari partai politik dinilai menganggu kinerja Kejaksaan Agung dalam proses penegakan hukum. Penegakan hukum dirusak karena penanganannya dilakukan secara politis.
“Sejak dari awal saya bilang, jabatan Jaksa Agung jangan dari parpol, karena kita lihat hasilnya seperti ini, hukum dirusak karena penanganannya politis sekali. Lihat imagenya rusak,” ujar Mudzakkir, Kamis(7/1).
Salah satu contoh dari buruknya kinerja Kejaksaan Agung lanjut Mudzakkir adalah penanganan kasus yang dituduhkan kepada eks ketua DPR Setya Novanto. Jaksa Agung selaku pemimpin lembaga tersebut menyebutkan Novanto melakukan pemufakatan jahat. Padahal unsur dari tuduhan tersebut tidak terbukti sama sekali.
“Sekarang kita lihat, ada deal-deal (kesepakatan) tidak dari akhir pembicaraan? Berbeda dengan Sudirman Said (Menteri ESDM) yang mengirimkan surat ke petinggi Freeport. Itu jelas sudah menjanjikan akan memperpanjang kontrak. Padahal kontrak sendiri baru bisa dibahas 2019 nanti,” ujar dia.
Dia mengatakan, seharusnya Kejaksaan Agung tidak bertindak politis dan bisa mengambil sikap kepada keluarga Wakil Presiden Jusuf Kalla yang melakukan pertemuan dengan petinggi Freeport juga. “Kejar juga seharusnya. Jangan mengejar orang yang belum kelihatan,” kata dia.
Bos Freeport McMoran, James R Moffett pernah mendatangi Gedung Menara Karya di kawasan Kuningan, Jakarta. Jim Bob, begitu biasa dipanggil, lalu menuju ke kantor Bosowa di lantai 16. Dia memasuki ruang pertemuan di dekat lobby Bosowa. Sejumlah petinggi Bosowa seperti Aksa Mahmud beserta sang putra Erwin Aksa menyambut kedatangan Jim Bob.
Mantan Komisioner Kejaksaan, Kaspudin Noor mengatakan presiden harus memilih seorang jaksa agung yang profesional dan memiliki integritas serta jiwa kepemimpinan yang tinggi. Selain itu, Presiden juga harus memaparkan alasannya menunjuk seseorang menjabat sebagai Jaksa Agung. Ini menjadi penting agar Presiden tidak berulang mengganti.
“Dalam melakukan reshuffle Presiden harus menjelaskan juga kenapa diganti dan kenapa diangkat walaupun dia mempunyai hak prerogratif,” ujar Kaspudin, Jumat (8/1/2015).
Menurutnya, orang yang akan menduduki posisi Jaksa Agung nanti harus profesional dalam artian dia mengetahui betul tentang anatomi Kejaksaan Agung serta mengetahui tugas dan fungsinya. “Siapapun dia harus mampu memahami dari sisi perdata, pidana khusus dan umum, hubungan internasional, sosial dan kelembagaan. Seorang jaksa agung harus mempunyai kemampuan itu,” ucap Kaspudin.
Calon pengganti Prasetyo juga harus mempunyai memenejerial organisasi karena ia mempunyai tugas sebagai pengendali perkara. Dia tidak hanya sebagai pemimpin di dalam organisasi itu sendiri namun harus menjadi pemimpin di luar. Kemudian harus mampu mengendalikan organisasi baik dari segi keuangan anggaran, mampu membina dan mendidik SDM, menata lembaganya. “Tugas kejaksaan sangat luar biasa kalau dikelola dengan baik maka hukum bisa baik,” ujarnya.
Mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra menginginkan Kejaksaan Agung bersih dari kepentingan politik. Hal tersebut dilontarkan Yusril terkait penilaian dari Kementerian PAN dan RB terhadap Kejaksaan Agung, dimana korps adhyaksa menempati urutan buncit dari 86 lembaga negara.
“Sebenarnya penegakan hukum memang harus steril dari kepentingan politik. Ya, harus steril betul dari politik. Kalau hukum ya hukum saja. Jangan campur aduk hukum dengan politik. Karena orang yang onpolitik sama sekali saja bisa ikut politik,” ucapnya.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mengatakan pihaknya akan membahas di internalnya tentang kemungkinan pembentukan pansus Kejaksaan Agung. “Jika pembentukan pansus itu keinginan publik, kita akan siapkan,” kata Masinton.
Dia mengaku selama ini belum melihat prestasi yang signifikan dari Jaksa Agung HM Prasetyo. Mulai dari minimnya akuntabilitas dalam kinerja, gugatan PTUN dari seorang jaksanya, minimnya setoran PNBP dibanding tahun sebelumnya hingga dugaan politisasi kasus-kasus yang ditangani kejagung.
“Menurut saya belum ada yang bisa dikategorikan sebagai prestasi. Sudah minim prestasi, terlalu banyak juga kegaduhan yang ada di Kejagung setahun terakhir ini,” katanya.
Sebelumnya diberitakan, Kejaksaan Agung mendapat rapor merah hasil evaluasi akuntabilitas kinerja oleh KemenPAN-RB dan dibantu Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. Lembaga yang dipimpin Jaksa Agung HM Prasetyo itu mendapatkan nilai terendah 50,02 dari 86 instansi pemerintah yakni dibawah Perpustakaan Nasional.
Terkait hal tersebut Direktur Center Budget for Analysis Uchok Sky Khadafi mengatakan nilai rendah untuk Kejaksaan Agung menunjukkan bahwa Jaksa Agung HM Prasetyo kerap sibuk mengurusi politik ketimbang meningkatkan kinerja aparaturnya.
“Iya. Ini menunjukan Jaksa Agung selalu mengurus politik daripada meningkatkan kinerja aparaturnya. Padahal, untuk lolos dari penilaian Menpan itu paling gampang, kalau Jaksa Agung serius, dan fokus dalam membenahi kenerja mereka,” ujar Uchok.
Karena itu kata Uchok, sudah saatnya Presiden Joko Widodo mencopot Jaksa Agung HM Prasetyo karena memiliki kinerja yang buruk. “Sebaiknya presiden jangan takut dan tak enak diri sama Surya Paloh untuk melakukan pemecatan Jaksa Agung. Masak kinerja jelek masih tetap dipertahankan,” kata Uchok. ***HB***
